Selasa, 08 April 2025

Harmoni dalam Perbedaan: Menelusuri Relasi Agama dan Budaya

Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Apakah agama dan budaya selalu berada di dua kutub yang berbeda? Ataukah keduanya bisa bersinergi menciptakan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat?

Agama dan budaya kerap kali dipersepsikan sebagai dua entitas yang saling bertolak belakang. Agama dianggap sakral dan absolut, sedangkan budaya dipandang sebagai produk manusia yang fleksibel dan berubah-ubah. Namun, dalam praktik kehidupan sehari-hari, keduanya justru seringkali berjalan beriringan, saling mengisi, bahkan membentuk satu identitas yang unik dalam tiap masyarakat. Realitas ini menjadi sangat relevan di tengah keberagaman Indonesia, di mana berbagai keyakinan dan budaya lokal hidup berdampingan.

Baru-baru ini, muncul kembali perdebatan tentang boleh tidaknya praktik budaya lokal yang disisipi unsur keagamaan. Sebagian pihak menilai bahwa praktik semacam itu mengaburkan nilai-nilai murni agama. Di sisi lain, ada yang menganggap bahwa budaya adalah medium untuk mengekspresikan nilai-nilai spiritual dalam bentuk yang lebih kontekstual dan membumi. Lantas, bagaimana kita seharusnya memahami relasi antara agama dan budaya? Apakah keduanya bisa berjalan harmonis tanpa saling meniadakan?

Agama dan budaya sejatinya tidak harus selalu dikontraskan. Dalam sejarah peradaban, keduanya saling terkait erat. Ajaran agama sering menyerap unsur budaya lokal agar mudah diterima masyarakat. Sebaliknya, budaya juga kerap mengadopsi nilai-nilai religius untuk memberi makna spiritual pada tradisi yang dijalankan. Contohnya, tradisi Grebeg di Yogyakarta yang merupakan percampuran antara Islam dan budaya Jawa, atau upacara Ngaben di Bali yang merupakan perwujudan ajaran Hindu dalam bentuk kebudayaan lokal. Perpaduan ini tidak lantas mengurangi makna spiritual, justru memperkaya dimensi keberagamaan yang lebih kontekstual dan manusiawi.

Namun, relasi harmonis ini tentu harus dibangun dengan kesadaran dan kehati-hatian. Ketika budaya dipraktikkan tanpa refleksi, bisa saja nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran agama justru dipertahankan atas nama warisan leluhur. Sebaliknya, ketika agama dipaksakan secara kaku tanpa memahami konteks budaya masyarakat, hasilnya bisa menimbulkan resistensi dan konflik. Di sinilah pentingnya dialog antara tokoh agama dan budayawan untuk menemukan titik temu yang tidak saling menegasikan, tetapi saling memperkuat.

Pendidikan juga memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman masyarakat tentang relasi antara agama dan budaya. Kurikulum yang inklusif, dialog antarumat beragama, serta pelibatan generasi muda dalam pelestarian budaya lokal bernilai religius dapat menjadi jembatan untuk memperkuat harmoni. Media massa dan media sosial pun perlu turut andil dalam menyebarkan narasi-narasi yang menekankan pentingnya toleransi, keterbukaan, dan apresiasi terhadap perbedaan.

Dalam konteks Indonesia, harmonisasi agama dan budaya bukan hanya sebuah pilihan, melainkan kebutuhan. Negara ini dibangun di atas fondasi keberagaman, dan kekuatan bangsa terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan di tengah perbedaan. Menghormati budaya lokal bukan berarti melemahkan agama, dan menjalankan agama secara tulus tidak lantas harus menolak seluruh aspek budaya.

Sebagaimana bunyi pepatah lama, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Kalimat ini mengandung pesan bijak bahwa setiap keyakinan yang kita anut sebaiknya tetap menghormati konteks budaya tempat kita berpijak. Bukan untuk mencampuradukkan secara semrawut, tetapi untuk menyusun harmoni dalam perbedaan karena di situlah wajah sejati dari toleransi dan kedewasaan beragama.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Kamis, 20 Maret 2025

Dari Ketidakpahaman Menuju Toleransi: Strategi untuk Hubungan Agama yang Harmonis

Oleh Syafiqoh Mubarokah

Di tengah masyarakat yang semakin beragam, perbedaan agama sering kali menjadi sumber ketegangan. Konflik yang muncul bukan semata-mata karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih sering disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap agama lain. Bagaimana kita bisa mengubah ketidakpahaman ini menjadi toleransi yang sejati?

Ketidakpahaman sering kali menjadi akar dari intoleransi dalam kehidupan beragama. Banyak orang yang tidak memiliki cukup pengetahuan tentang agama lain sehingga mudah terpengaruh oleh stereotip dan prasangka negatif. Tanpa interaksi yang cukup, perbedaan agama sering kali menjadi sumber perpecahan daripada alat pemersatu.

Untuk mewujudkan hubungan agama yang harmonis, terdapat beberapa strategi yang dapat diterapkan. Pertama, pendidikan dan literasi keagamaan menjadi kunci utama dalam membangun toleransi. Kurikulum pendidikan sebaiknya memasukkan materi tentang agama-agama yang ada di dunia dengan pendekatan yang objektif dan ilmiah. Selain pendidikan formal, literasi keagamaan juga bisa diperoleh melalui media, buku, seminar, dan diskusi. Tokoh agama dan pemuka masyarakat harus berperan aktif dalam menyebarkan informasi yang benar tentang keyakinan mereka serta menepis kesalahpahaman yang sering beredar di masyarakat.

Kedua, dialog antaragama menjadi sarana yang efektif untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Membangun toleransi tidak cukup hanya dengan memahami agama lain secara teori, tetapi juga harus melalui interaksi langsung dengan penganut agama lain. Dalam dialog ini, setiap pihak dapat berbagi pengalaman dan pandangan tanpa rasa takut akan dihakimi atau dipaksa untuk mengubah keyakinan mereka. Dengan adanya forum-forum seperti ini, stereotip negatif terhadap agama lain bisa diminimalkan.

Ketiga, media memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk opini masyarakat terhadap suatu agama. Sayangnya, sering kali media lebih banyak menyoroti konflik antaragama daripada menampilkan contoh harmoni dan kerja sama antarumat beragama. Oleh karena itu, media harus lebih aktif dalam menyebarluaskan narasi yang positif tentang toleransi dan keberagaman. Kampanye digital yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi bisa menjadi salah satu langkah efektif dalam menanggulangi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian berbasis agama.

Keempat, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Regulasi yang adil dan tidak diskriminatif harus diterapkan untuk melindungi hak-hak semua warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Selain regulasi, pemerintah juga dapat berperan sebagai fasilitator dalam mempertemukan berbagai kelompok agama dalam satu wadah kerja sama. Program-program yang mendukung interaksi positif antaragama, seperti kerja bakti bersama atau kegiatan sosial lintas agama, dapat membantu membangun solidaritas dan mengurangi ketegangan.

Kelima, toleransi sejatinya dimulai dari individu. Setiap orang harus memiliki kesadaran bahwa dunia ini dihuni oleh manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda, termasuk dalam hal keyakinan. Seseorang yang memiliki pemikiran terbuka dan empati akan lebih mudah menerima perbedaan tanpa merasa terancam. Membangun kesadaran ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga dan komunitas terdekat. Orang tua dan pendidik memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak sejak dini. Dengan demikian, generasi mendatang akan tumbuh dengan sikap yang lebih inklusif terhadap perbedaan.

Membangun toleransi membutuhkan upaya yang berkelanjutan melalui pendidikan, dialog antaragama, peran media yang positif, regulasi yang adil, serta kesadaran individu. Dengan menerapkan strategi-strategi ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, di mana setiap orang dapat menjalankan keyakinannya dengan damai tanpa harus merasa terancam oleh perbedaan. Toleransi bukan berarti menghilangkan perbedaan, tetapi bagaimana kita dapat hidup berdampingan dalam perbedaan tersebut dengan saling menghargai dan memahami satu sama lain.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon