Rabu, 25 Juni 2025

Madrasah yang Menghidupkan Al-Qur’an dalam Setiap Detik Kehidupan


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Apa yang terjadi jika anak-anak dibiasakan bangun pukul tiga dini hari untuk shalat tahajud, mengaji hingga malam, dan sepanjang hari dikelilingi oleh nilai-nilai keislaman? Jawabannya: terbentuklah generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan akhlak. Itulah yang sedang dibangun oleh Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an 6, sebuah madrasah modern yang menghidupkan Al-Qur’an dalam setiap detik kehidupan santrinya.

Di saat sebagian lembaga pendidikan kewalahan menanamkan karakter disiplin dan religius, Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an 6 justru menjadikan hal itu sebagai budaya. Melalui jadwal harian yang ketat, kurikulum yang dirancang berbasis akidah Ahlussunnah wal Jamaah, hingga program unggulan berbasis tahfidz, madrasah ini telah menjadi contoh bagaimana pendidikan keberagamaan dapat diterapkan secara efektif dan membumi.

Pola keberagamaan di madrasah ini dibangun bukan dengan paksaan, tapi dengan pembiasaan. Setiap hari dimulai pukul 03.00 dini hari dengan aktivitas spiritual: sholat tahajud, mandi, dan persiapan sholat Subuh. Setelah itu, santri langsung mengisi waktu dengan “Jam Wajib Al-Qur’an”, sebuah sesi khusus untuk menghafal dan memperbaiki bacaan Al-Qur’an dengan metode Yanbu’a, sebuah pendekatan yang sistematis dan telah diakui efektif dalam pembelajaran tahfidz.

Kegiatan belajar di sekolah formal pun tidak ditinggalkan. Kurikulum yang digunakan berbasis Aswaja NU yang moderat, toleran, dan ramah budaya lokal. Pelajaran kitab kuning tetap dipertahankan sebagai bagian dari warisan keilmuan Islam klasik, dan diimbangi dengan penguatan bahasa Arab dan Inggris agar santri siap menghadapi tantangan global.

Tidak kalah penting adalah pendidikan karakter melalui aktivitas ekstrakurikuler. Santri mengikuti pramuka, pentas seni, science club, hingga rebana dan English club. Semua ini dirancang untuk menggali potensi dan kepribadian santri secara seimbang: spiritual, intelektual, sosial, dan emosional.

Program-program unggulan seperti beasiswa santri berprestasi, kompetensi keislaman dan peradaban, hingga tahfidz 30 juz bersanad menjadi nilai tambah yang tidak banyak ditawarkan lembaga lain. Dengan ini, madrasah tidak hanya mencetak penghafal Al-Qur’an, tetapi juga pemimpin masa depan yang kokoh akhlaknya.

Apa yang menjadikan madrasah ini istimewa adalah kemampuannya menyatukan banyak hal: pendidikan agama, umum, karakter, dan masa depan. Semuanya dibungkus dalam sistem yang rapi, penuh makna, dan mendalam. Tak heran jika Yanbu’ul Qur’an 6 menjadi salah satu cabang terpercaya dari pusat tahfidz ternama di Kudus.

Pengembangan keberagamaan tidak bisa hanya dilakukan lewat ceramah atau hafalan semata. Harus ada pembiasaan, keteladanan, dan sistem yang mendukung. Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an 6 telah menunjukkan bahwa madrasah bisa menjadi tempat terbaik untuk melahirkan generasi Qur’ani, yang tidak hanya memahami Islam secara teori, tetapi juga menjalani ajarannya dalam hidup sehari-hari. Maka, jika ingin membentuk masa depan yang lebih baik, madrasah seperti inilah jawabannya.

Jumat, 20 Juni 2025

Toleransi Beragama Sejak SD, Mungkinkah? Inilah Potret Nyatanya!


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk, baik dari sisi budaya, suku, maupun agama. Sayangnya, keberagaman ini masih sering menimbulkan gesekan di masyarakat. Lantas, mungkinkah kita menanamkan nilai toleransi sejak usia dini agar perbedaan tidak menjadi sumber konflik di masa depan?

Pendidikan dasar memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak. Di usia inilah nilai-nilai dasar tentang sikap terhadap perbedaan mulai terbentuk. Salah satu Sekolah Dasar di Jawa Tengah, yaitu SDN 4 Sidorejo, menunjukkan bahwa pendidikan toleransi bisa dimulai dari ruang kelas, bahkan sejak bangku kelas satu.

Sekolah tersebut memiliki siswa dari latar belakang agama yang beragam seperti Islam, Kristen, dan Katolik. Meskipun mayoritas siswa beragama Islam, semua siswa diberi ruang yang sama untuk belajar, berpendapat, dan mengekspresikan kepercayaan mereka. Tidak ada perlakuan berbeda atau sikap eksklusif dalam kegiatan belajar maupun kegiatan bersama.

Nilai-nilai toleransi ditanamkan dalam berbagai bentuk. Salah satunya melalui kegiatan bersama seperti kerja bakti, olahraga, permainan kelompok, dan diskusi kelas. Dalam setiap kegiatan, guru-guru berperan sebagai fasilitator yang membiasakan anak-anak untuk saling menghargai. Perbedaan bukan dilihat sebagai penghalang, melainkan sebagai warna yang memperkaya kehidupan sekolah.

Menariknya, kegiatan keagamaan pun tidak dilakukan secara tunggal. Siswa Muslim biasanya mengikuti kegiatan seperti tadarus dan salat dhuha, sedangkan siswa yang beragama lain diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah atau kegiatan keagamaan sesuai keyakinan mereka masing-masing. Penjadwalan dan pendampingan dilakukan secara adil dan penuh pengertian.

Dalam keseharian, anak-anak terlihat akrab satu sama lain, tanpa membeda-bedakan teman berdasarkan agama. Jika ada perbedaan pendapat atau salah paham, guru segera mengambil peran sebagai penengah dan pembimbing. Sikap seperti ini menumbuhkan rasa saling percaya dan aman bagi semua pihak.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa pendidikan toleransi tidak harus rumit atau menunggu usia remaja. Justru di usia dini, anak-anak lebih mudah dibentuk dan dibiasakan hidup dalam perbedaan. Yang dibutuhkan hanyalah keteladanan dari guru dan lingkungan yang mendukung.

Penting untuk dicatat bahwa keberhasilan ini bukan hanya soal metode, tetapi soal komitmen. Komitmen sekolah untuk menjadi ruang yang inklusif, ramah keberagaman, dan terbuka terhadap perbedaan adalah kunci utama. Dengan pendekatan ini, sekolah bukan hanya tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi juga tempat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting.

Ke depan, praktik baik ini perlu ditiru oleh sekolah lain. Di tengah banyaknya tantangan sosial yang melibatkan isu SARA, pendidikan dasar harus menjadi benteng pertama dalam membentuk generasi yang toleran, adil, dan siap hidup damai dalam keberagaman. Karena masa depan Indonesia yang damai dimulai dari ruang-ruang kelas hari ini.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Selasa, 10 Juni 2025

Menanamkan Nilai Agama Sejak Dini: Cara Lama atau Metode Baru?

Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Anak usia dini sering disebut sebagai masa keemasan atau golden age. Pada masa inilah, anak paling mudah menerima nilai, membentuk karakter, dan belajar dari lingkungan sekitarnya. Namun, bagaimana sebenarnya metode yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai keberagamaan pada usia ini? Apakah cukup dengan menghafal doa dan surat pendek, atau perlu metode pembelajaran yang lebih aplikatif dan menyenangkan?

Dua penelitian yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini menjelaskan dua pendekatan berbeda. Pertama, melalui metode keteladanan, di mana guru menjadi panutan yang memberikan contoh nyata perilaku religius. Kedua, melalui metode kibar, yakni metode visual dan gerak yang memudahkan anak mengenali dan membaca huruf hijaiyah secara menyenangkan. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing dalam membantu tumbuhnya religiositas anak sejak usia dini.

Metode keteladanan menempatkan guru dan orang tua sebagai contoh nyata. Di TK Al-Muhsin, misalnya, anak-anak diajak melihat langsung bagaimana guru mengucapkan salam, memimpin doa, melaksanakan shalat dhuha, hingga menunjukkan sopan santun dalam bertutur kata dan bersikap. Anak-anak tidak hanya diberi teori tentang perilaku baik, tapi juga meniru langsung apa yang dilakukan oleh guru mereka.

Penelitian menunjukkan bahwa cara ini efektif. Anak belajar dengan meniru. Ketika guru mengajak bersalaman, mengucap salam, atau meminta maaf saat bersalah, anak pun mengikuti. Nilai moral dan agama bukan lagi sekadar hafalan, tapi menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Keteladanan yang konsisten akan melekat kuat dalam memori anak, membentuk karakter dan perilaku religius jangka panjang.

Sementara itu, metode kibar sebuah pendekatan yang dikembangkan dari metode iqra memiliki keunggulan dalam mengajarkan huruf hijaiyah. Penelitian di RA At-Taqwa Rajapolah menunjukkan bahwa penggunaan metode ini sangat membantu anak dalam belajar membaca Al-Qur'an. Dengan pendekatan visual, bunyi, dan gerakan yang menyenangkan, anak lebih mudah mengenali bentuk huruf, membedakan bunyi, dan belajar tajwid secara sederhana.

Nilai aktivitas anak saat menggunakan metode kibar tergolong sangat baik, dan hasil belajar huruf hijaiyah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Koefisien korelasi sebesar 0,6 menunjukkan hubungan yang kuat antara penggunaan metode ini dengan kemampuan membaca huruf hijaiyah anak usia dini. Ini menunjukkan bahwa metode yang menarik, aplikatif, dan menyenangkan sangat penting dalam pengembangan keberagamaan anak.

Namun, penting dicatat bahwa kedua metode ini tidak bisa berdiri sendiri. Keteladanan membentuk karakter dan moral, sedangkan metode kibar memperkuat aspek kognitif keagamaan seperti kemampuan membaca. Oleh karena itu, keduanya perlu digabungkan secara integratif. Pendidikan agama tidak cukup hanya diajarkan, tapi harus diteladankan dan dipraktikkan dalam keseharian.

Guru dan orang tua memiliki peran besar dalam mewujudkan hal ini. Konsistensi, kesabaran, dan kasih sayang menjadi kunci utama dalam membimbing anak mengenal Tuhannya. Kurikulum PAUD juga perlu disusun agar memberikan ruang cukup bagi pendidikan agama, tidak hanya sebagai pelengkap, tapi sebagai fondasi pendidikan karakter.

Menanamkan nilai-nilai keberagamaan pada anak usia dini tidak cukup dengan ceramah atau hafalan semata. Anak perlu melihat langsung, meniru, dan terlibat secara aktif. Metode keteladanan dan metode kibar adalah dua pendekatan yang terbukti efektif, terutama jika diterapkan bersamaan. Di era yang serba cepat ini, kita tidak boleh abai: membentuk generasi yang religius dan berakhlak baik harus dimulai sejak dini dan dengan metode yang tepat.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Senin, 02 Juni 2025

Regulasi Pendidikan dan Keberagamaan: Masihkah Berpihak pada Keadilan?


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan serius. Mulai dari isu kebijakan lima hari sekolah yang berpotensi menggeser peran pendidikan keagamaan, kekurangan guru Pendidikan Agama Islam (PAI), ketimpangan anggaran pendidikan Islam, hingga tantangan dalam pengembangan lembaga kaderisasi ulama seperti Ma’had Aly. Semua itu menimbulkan pertanyaan: apakah regulasi pendidikan kita sudah berpihak pada penguatan keberagamaan atau justru menghambatnya?

Sejatinya, pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan umum, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter dan spiritualitas. Pendidikan agama, baik di sekolah, madrasah, pesantren, maupun lembaga nonformal seperti TPA dan MDT, memegang peranan penting dalam membangun generasi bangsa yang beriman, toleran, dan berakhlak mulia. Namun, berbagai regulasi dan alokasi anggaran justru sering kali tidak adil dan cenderung meminggirkan pendidikan keagamaan. Situasi ini perlu ditinjau ulang agar sistem pendidikan kita berjalan seimbang dan menyentuh semua kebutuhan umat.

Salah satu isu utama adalah ketimpangan anggaran pendidikan Islam. Dalam tulisan Suwendi, dijelaskan bahwa meski Ditjen Pendis Kementerian Agama mengelola lebih dari 533 ribu lembaga pendidikan Islam (termasuk RA, MI, MTs, MA, pondok pesantren, madrasah diniyah, dan Ma’had Aly), anggaran yang diberikan hanya sekitar Rp46 triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding alokasi tunjangan profesi guru di sekolah umum yang mencapai Rp70 triliun.

Ironisnya, banyak madrasah dan pesantren yang berstatus swasta karena minimnya dukungan anggaran dari negara. Padahal kontribusi pendidikan Islam terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) cukup besar, mencapai 22%. Namun, alokasi anggarannya tak sebanding dengan kontribusinya. Penyebabnya antara lain adalah regulasi keuangan seperti UU No. 33 Tahun 2004 dan pendekatan pengukuran berbasis APK yang tidak memasukkan lembaga pendidikan nonformal.

Di sisi lain, guru PAI di sekolah juga menghadapi persoalan serius. Jumlahnya sangat kurang, sekitar 35 ribu guru PAI masih dibutuhkan. Selain itu, tunjangan profesi mereka kerap tertunda atau tidak dibayar karena aturan yang tumpang tindih antara Kementerian Agama, Kemendikbud, dan Pemerintah Daerah. Permendikbud No. 17 Tahun 2016 bahkan melarang Pemda membayar tunjangan guru PAI, meskipun mereka diangkat oleh Pemda itu sendiri.

Kebijakan lima hari sekolah juga menjadi isu yang memicu kegaduhan. Jika siswa pulang sore, maka waktu untuk kegiatan keagamaan di luar sekolah seperti TPA, MDT, dan kajian kitab menjadi terganggu. Kebijakan ini dianggap tidak peka terhadap peran besar lembaga keagamaan dalam membentuk karakter anak bangsa. Untungnya, Perpres No. 87 Tahun 2017 mengoreksi hal ini dan memberi ruang bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

Selain itu, pengembangan pendidikan keagamaan tingkat tinggi seperti Ma’had Aly juga masih memerlukan perhatian. Meski legalitasnya kuat dan sangat penting sebagai pusat kaderisasi ulama (mutafaqqih fiddin), Ma’had Aly masih kekurangan fasilitas dan dukungan anggaran. Padahal, ulama masa kini harus mampu menjawab tantangan zaman, dari teknologi hingga isu kebangsaan. Ma’had Aly diharapkan menjadi benteng keilmuan Islam berbasis kitab kuning sekaligus pengawal moralitas bangsa.

Regulasi pendidikan dan pengembangan keberagamaan semestinya saling mendukung. Negara tidak boleh membiarkan pendidikan keagamaan berjalan sendiri tanpa dukungan berarti. Revisi regulasi, keadilan dalam alokasi anggaran, dan sinergi antarinstansi menjadi kunci utama. Pendidikan agama bukan sekadar pelengkap, tapi pondasi utama dalam membentuk manusia Indonesia yang utuh—berilmu, beriman, dan berakhlak mulia.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

 

Moderasi Beragama dalam Dunia Pendidikan: Apakah Hanya Wacana atau Solusi Nyata?


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Belakangan ini, muncul banyak kekhawatiran tentang tumbuhnya sikap intoleran dan radikal di lingkungan sekolah dan kampus. Misalnya, data dari PPIM UIN Jakarta tahun 2018 menyebutkan bahwa lebih dari 60% guru di Indonesia memiliki pandangan yang intoleran terhadap pemeluk agama lain. Bahkan, sebagian mahasiswa di perguruan tinggi keagamaan negeri mendukung berdirinya negara khilafah dan menolak Pancasila sebagai ideologi negara. Di tengah situasi ini, moderasi beragama dianggap sebagai jalan keluar. Tapi, apakah konsep ini sudah benar-benar diterapkan di dunia pendidikan kita?

Moderasi beragama bukanlah sekadar istilah yang indah untuk didengar. Ini adalah cara beragama yang menghindari sikap ekstrem dan memaksakan kebenaran sendiri. Dalam dunia pendidikan, moderasi beragama sangat penting agar generasi muda tidak tumbuh menjadi pribadi yang sempit cara pandangnya, namun mampu hidup berdampingan di tengah keberagaman. Dua artikel yang ditulis oleh Suwendi dan tim menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi ruang utama untuk menanamkan nilai-nilai ini, bukan justru menjadi ladang subur bagi tumbuhnya intoleransi.

Moderasi beragama berarti menjalani agama dengan cara yang adil, seimbang, dan menghargai perbedaan. Ini bukan berarti melemahkan ajaran agama, melainkan memahami bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Sayangnya, realita menunjukkan bahwa banyak sekolah dan kampus belum mampu menciptakan lingkungan yang toleran. Bahkan, ada guru yang mengajarkan kebencian terhadap kelompok tertentu atas nama agama.

Artikel Transforming Religious Moderation in the Education World menyatakan bahwa pendidikan adalah tempat strategis untuk membentuk karakter moderat. Namun, masih banyak pemangku kepentingan pendidikan yang memisahkan antara nilai keagamaan dan nilai kebangsaan. Akibatnya, semangat beragama sering kali tidak sejalan dengan cinta tanah air.

Sementara itu, artikel Strengthening Religious Moderation to Prevent Extremism in Educational Institutions menyebut bahwa ada tiga tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan: tumbuhnya paham ekstrem, klaim kebenaran tunggal dalam agama, dan semangat keagamaan yang tidak sejalan dengan semangat kebangsaan. Ketiganya sangat berbahaya karena bisa melahirkan konflik sosial dan melemahkan persatuan bangsa.

Solusinya, pendidikan harus mempraktikkan moderasi beragama dalam kegiatan sehari-hari. Ini bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, guru dan dosen perlu mendapatkan pelatihan tentang moderasi beragama. Mereka harus menjadi contoh bagi muridnya dalam bersikap terbuka dan adil. Kedua, kurikulum pelajaran harus menyisipkan nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan kebangsaan. Ketiga, sekolah dan kampus perlu menciptakan kegiatan yang mempertemukan siswa dari berbagai latar belakang untuk belajar saling memahami.

Penting juga untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Artinya, peserta didik dikenalkan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya, dan semua itu harus dihormati. Melalui pendekatan ini, siswa tidak hanya tahu tentang keberagaman, tapi juga belajar bagaimana hidup berdampingan dengan damai.

Guru memiliki peran penting. Mereka harus menjadi teladan sikap moderat, tidak memihak, dan mampu menjelaskan bahwa agama hadir untuk menjaga martabat manusia dan membangun kebaikan bersama. Pendidikan yang hanya menekankan pada keseragaman justru akan melahirkan generasi yang sulit menerima perbedaan dan mudah terpengaruh paham sempit.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama secara serius dalam dunia pendidikan, kita tidak hanya mencegah radikalisme, tapi juga membentuk generasi muda yang cinta damai, toleran, dan mampu menjaga keutuhan bangsa. Moderasi beragama bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak demi masa depan Indonesia yang lebih damai dan bersatu.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Kamis, 08 Mei 2025

Agama dan Ilmu Pengetahuan untuk Kemaslahatan Manusia: Bisakah Bersinergi?


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Agama dan ilmu pengetahuan kerap diposisikan berseberangan. Agama dianggap dogmatis, sementara ilmu pengetahuan dinilai rasional. Namun, dalam konteks kemaslahatan manusia, benarkah keduanya tidak dapat bersinergi? Di tengah tantangan global saat ini mulai dari krisis moral hingga degradasi lingkungan kolaborasi antara nilai-nilai agama dan pendekatan ilmiah justru semakin relevan dan mendesak.

Sejarah menunjukkan bahwa banyak peradaban besar lahir dari perpaduan iman dan ilmu. Dunia Islam masa klasik adalah contoh nyata. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Kindi adalah ilmuwan yang juga berakar kuat pada spiritualitas. Bagi mereka, mencari ilmu adalah bagian dari ibadah. Sains tidak bertentangan dengan agama, melainkan alat untuk memahami ciptaan Tuhan dan memperkuat keimanan.

Namun dalam praktik modern, keduanya sering dipisahkan. Sains bergerak tanpa arah etika, sementara agama berjalan tanpa pijakan rasional. Padahal, pemisahan ini berisiko besar. Ilmu yang tak beretika bisa melahirkan teknologi yang merusak, seperti senjata pemusnah massal atau eksploitasi lingkungan. Sebaliknya, agama tanpa pemahaman ilmiah berpotensi melahirkan fanatisme dan penolakan terhadap kemajuan.

Kemaslahatan manusia bukan hanya soal kemajuan teknologi, tapi juga keseimbangan moral. Agama mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab—nilai-nilai yang penting dalam mengarahkan pemanfaatan ilmu. Dalam isu perubahan iklim, misalnya, sains memberi data dan solusi teknis, sementara agama mendorong kesadaran bahwa menjaga bumi adalah amanah. Dalam dunia medis, pendekatan spiritual terbukti memperkuat proses penyembuhan, berdampingan dengan teknologi kesehatan yang canggih.

Dalam Islam, perintah untuk mencari ilmu sangat jelas. Kata pertama dalam wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad adalah "Iqra’" bacalah. Ini bukan sekadar ajakan membaca teks, tetapi membaca alam semesta, memahami ciptaan Tuhan, dan mengelola kehidupan dengan bijaksana. Di sinilah titik temu antara wahyu dan akal.

Kita hidup di zaman yang penuh paradoks: kemajuan teknologi luar biasa, tetapi krisis kemanusiaan terus memburuk. Maka, dibutuhkan pendekatan integratif: sains yang beretika dan agama yang terbuka terhadap ilmu. Sinergi ini bukan hanya mungkin, tetapi perlu. Tujuannya satu: menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan manusiawi.

Agama dan ilmu pengetahuan, jika dikelola dengan bijak, bukan hanya kompatibel, tetapi saling memperkuat. Peradaban masa depan tidak bisa hanya dibangun oleh kecanggihan teknologi, tetapi juga oleh keluhuran nilai. Dalam titik inilah, keduanya harus dipertemukan demi kemaslahatan umat manusia secara menyeluruh.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Minggu, 27 April 2025

Khilafah dan HTI: Ancaman Nyata Terhadap Pancasila dan Kebhinekaan


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Mengapa bangsa sebesar Indonesia harus waspada terhadap paham khilafah dan gerakan HTI? Karena keduanya bukan sekadar wacana ideologis, melainkan ancaman nyata yang menggerogoti sendi-sendi Pancasila dan keberagaman kita. Jika dibiarkan, bukan hanya hukum dan pemerintahan yang terguncang, tetapi seluruh jati diri bangsa ini bisa hancur lebur.

Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler murni. Ia adalah negara berlandaskan Pancasila, dengan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa membedakan latar belakang. Di sinilah gagasan khilafah dan HTI berbenturan keras: memaksakan satu ideologi tunggal untuk bangsa yang sejak lahir memilih hidup dalam keberagaman.

Khilafah bukan sekadar ide politik. Ia adalah sistem yang menolak eksistensi negara-bangsa, menolak demokrasi, dan menolak pluralisme. Dalam kerangka khilafah, tidak ada ruang untuk "Indonesia" sebagai entitas berdaulat yang ada hanyalah bagian kecil dari entitas global bernama "umma" di bawah satu khalifah. Konsep ini bertentangan seratus persen dengan prinsip dasar Proklamasi 17 Agustus 1945.

HTI, sebagai organisasi yang mempromosikan ide khilafah di Indonesia, membawa racun ideologis yang berbahaya. Dengan bungkus dakwah dan istilah keagamaan, mereka perlahan-lahan menyusupkan doktrin anti-demokrasi, anti-nasionalisme, dan anti-kebhinekaan ke dalam masyarakat. Ini bukan sekadar "pandangan lain" dalam demokrasi, ini adalah bentuk sabotase terhadap dasar bernegara kita.

Pancasila lahir dari konsensus panjang dan berdarah-darah. Ia bukan hanya milik satu golongan, tapi milik seluruh rakyat Indonesia. Dalam Pancasila, ada tempat bagi Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan aliran kepercayaan lokal. Konsep khilafah, sebaliknya, hanya mengakui satu kebenaran dan satu jalan. Siapapun yang berbeda, dianggap layak disingkirkan atau dikoreksi secara paksa.

Di tengah kompleksitas masyarakat Indonesia yang plural, keberadaan ideologi eksklusif seperti khilafah adalah bom waktu. Ia menciptakan segregasi, memperuncing identitas keagamaan di atas identitas kebangsaan, dan pada akhirnya bisa meledakkan konflik horizontal.

Pelarangan HTI di tahun 2017 adalah langkah berani — dan perlu. Ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan deklarasi sikap: bahwa Indonesia akan berdiri tegak mempertahankan jati dirinya. Bahwa kita tidak akan tunduk pada tekanan ideologi transnasional yang tidak menghormati sejarah dan perjuangan bangsa ini.

Sebagian mungkin berargumen bahwa melarang HTI melanggar hak berekspresi. Namun perlu diingat: kebebasan berekspresi dalam demokrasi bukan kebebasan untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi mempertahankan dirinya dari ancaman dengan tetap menjaga batasan yang jelas: tidak ada tempat bagi ideologi yang menyerukan pembubaran negara.

Indonesia adalah rumah bersama, bukan rumah untuk satu golongan saja. Pancasila adalah benteng terakhir kita. Jika benteng ini runtuh karena kita lengah menghadapi ideologi khilafah, maka jangan harap kita masih bisa menikmati kedamaian dan keberagaman seperti hari ini.

Karena itu, pertahanan terhadap Pancasila dan kebhinekaan bukan hanya tugas pemerintah tetapi tugas seluruh rakyat Indonesia yang cinta tanah air ini. Melawan ideologi khilafah adalah bagian dari membela kemerdekaan yang telah direbut dengan darah dan nyawa.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon


Selasa, 08 April 2025

Harmoni dalam Perbedaan: Menelusuri Relasi Agama dan Budaya


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Apakah agama dan budaya selalu berada di dua kutub yang berbeda? Ataukah keduanya bisa bersinergi menciptakan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat?

Agama dan budaya kerap kali dipersepsikan sebagai dua entitas yang saling bertolak belakang. Agama dianggap sakral dan absolut, sedangkan budaya dipandang sebagai produk manusia yang fleksibel dan berubah-ubah. Namun, dalam praktik kehidupan sehari-hari, keduanya justru seringkali berjalan beriringan, saling mengisi, bahkan membentuk satu identitas yang unik dalam tiap masyarakat. Realitas ini menjadi sangat relevan di tengah keberagaman Indonesia, di mana berbagai keyakinan dan budaya lokal hidup berdampingan.

Baru-baru ini, muncul kembali perdebatan tentang boleh tidaknya praktik budaya lokal yang disisipi unsur keagamaan. Sebagian pihak menilai bahwa praktik semacam itu mengaburkan nilai-nilai murni agama. Di sisi lain, ada yang menganggap bahwa budaya adalah medium untuk mengekspresikan nilai-nilai spiritual dalam bentuk yang lebih kontekstual dan membumi. Lantas, bagaimana kita seharusnya memahami relasi antara agama dan budaya? Apakah keduanya bisa berjalan harmonis tanpa saling meniadakan?

Agama dan budaya sejatinya tidak harus selalu dikontraskan. Dalam sejarah peradaban, keduanya saling terkait erat. Ajaran agama sering menyerap unsur budaya lokal agar mudah diterima masyarakat. Sebaliknya, budaya juga kerap mengadopsi nilai-nilai religius untuk memberi makna spiritual pada tradisi yang dijalankan. Contohnya, tradisi Grebeg di Yogyakarta yang merupakan percampuran antara Islam dan budaya Jawa, atau upacara Ngaben di Bali yang merupakan perwujudan ajaran Hindu dalam bentuk kebudayaan lokal. Perpaduan ini tidak lantas mengurangi makna spiritual, justru memperkaya dimensi keberagamaan yang lebih kontekstual dan manusiawi.

Namun, relasi harmonis ini tentu harus dibangun dengan kesadaran dan kehati-hatian. Ketika budaya dipraktikkan tanpa refleksi, bisa saja nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran agama justru dipertahankan atas nama warisan leluhur. Sebaliknya, ketika agama dipaksakan secara kaku tanpa memahami konteks budaya masyarakat, hasilnya bisa menimbulkan resistensi dan konflik. Di sinilah pentingnya dialog antara tokoh agama dan budayawan untuk menemukan titik temu yang tidak saling menegasikan, tetapi saling memperkuat.

Pendidikan juga memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman masyarakat tentang relasi antara agama dan budaya. Kurikulum yang inklusif, dialog antarumat beragama, serta pelibatan generasi muda dalam pelestarian budaya lokal bernilai religius dapat menjadi jembatan untuk memperkuat harmoni. Media massa dan media sosial pun perlu turut andil dalam menyebarkan narasi-narasi yang menekankan pentingnya toleransi, keterbukaan, dan apresiasi terhadap perbedaan.

Dalam konteks Indonesia, harmonisasi agama dan budaya bukan hanya sebuah pilihan, melainkan kebutuhan. Negara ini dibangun di atas fondasi keberagaman, dan kekuatan bangsa terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan di tengah perbedaan. Menghormati budaya lokal bukan berarti melemahkan agama, dan menjalankan agama secara tulus tidak lantas harus menolak seluruh aspek budaya.

Sebagaimana bunyi pepatah lama, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Kalimat ini mengandung pesan bijak bahwa setiap keyakinan yang kita anut sebaiknya tetap menghormati konteks budaya tempat kita berpijak. Bukan untuk mencampuradukkan secara semrawut, tetapi untuk menyusun harmoni dalam perbedaan karena di situlah wajah sejati dari toleransi dan kedewasaan beragama.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Kamis, 20 Maret 2025

Dari Ketidakpahaman Menuju Toleransi: Strategi untuk Hubungan Agama yang Harmonis


Oleh Syafiqoh Mubarokah

Di tengah masyarakat yang semakin beragam, perbedaan agama sering kali menjadi sumber ketegangan. Konflik yang muncul bukan semata-mata karena perbedaan keyakinan, tetapi lebih sering disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap agama lain. Bagaimana kita bisa mengubah ketidakpahaman ini menjadi toleransi yang sejati?

Ketidakpahaman sering kali menjadi akar dari intoleransi dalam kehidupan beragama. Banyak orang yang tidak memiliki cukup pengetahuan tentang agama lain sehingga mudah terpengaruh oleh stereotip dan prasangka negatif. Tanpa interaksi yang cukup, perbedaan agama sering kali menjadi sumber perpecahan daripada alat pemersatu.

Untuk mewujudkan hubungan agama yang harmonis, terdapat beberapa strategi yang dapat diterapkan. Pertama, pendidikan dan literasi keagamaan menjadi kunci utama dalam membangun toleransi. Kurikulum pendidikan sebaiknya memasukkan materi tentang agama-agama yang ada di dunia dengan pendekatan yang objektif dan ilmiah. Selain pendidikan formal, literasi keagamaan juga bisa diperoleh melalui media, buku, seminar, dan diskusi. Tokoh agama dan pemuka masyarakat harus berperan aktif dalam menyebarkan informasi yang benar tentang keyakinan mereka serta menepis kesalahpahaman yang sering beredar di masyarakat.

Kedua, dialog antaragama menjadi sarana yang efektif untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Membangun toleransi tidak cukup hanya dengan memahami agama lain secara teori, tetapi juga harus melalui interaksi langsung dengan penganut agama lain. Dalam dialog ini, setiap pihak dapat berbagi pengalaman dan pandangan tanpa rasa takut akan dihakimi atau dipaksa untuk mengubah keyakinan mereka. Dengan adanya forum-forum seperti ini, stereotip negatif terhadap agama lain bisa diminimalkan.

Ketiga, media memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk opini masyarakat terhadap suatu agama. Sayangnya, sering kali media lebih banyak menyoroti konflik antaragama daripada menampilkan contoh harmoni dan kerja sama antarumat beragama. Oleh karena itu, media harus lebih aktif dalam menyebarluaskan narasi yang positif tentang toleransi dan keberagaman. Kampanye digital yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi bisa menjadi salah satu langkah efektif dalam menanggulangi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian berbasis agama.

Keempat, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Regulasi yang adil dan tidak diskriminatif harus diterapkan untuk melindungi hak-hak semua warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Selain regulasi, pemerintah juga dapat berperan sebagai fasilitator dalam mempertemukan berbagai kelompok agama dalam satu wadah kerja sama. Program-program yang mendukung interaksi positif antaragama, seperti kerja bakti bersama atau kegiatan sosial lintas agama, dapat membantu membangun solidaritas dan mengurangi ketegangan.

Kelima, toleransi sejatinya dimulai dari individu. Setiap orang harus memiliki kesadaran bahwa dunia ini dihuni oleh manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda, termasuk dalam hal keyakinan. Seseorang yang memiliki pemikiran terbuka dan empati akan lebih mudah menerima perbedaan tanpa merasa terancam. Membangun kesadaran ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga dan komunitas terdekat. Orang tua dan pendidik memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kepada anak sejak dini. Dengan demikian, generasi mendatang akan tumbuh dengan sikap yang lebih inklusif terhadap perbedaan.

Membangun toleransi membutuhkan upaya yang berkelanjutan melalui pendidikan, dialog antaragama, peran media yang positif, regulasi yang adil, serta kesadaran individu. Dengan menerapkan strategi-strategi ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, di mana setiap orang dapat menjalankan keyakinannya dengan damai tanpa harus merasa terancam oleh perbedaan. Toleransi bukan berarti menghilangkan perbedaan, tetapi bagaimana kita dapat hidup berdampingan dalam perbedaan tersebut dengan saling menghargai dan memahami satu sama lain.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon