Oleh: Syafiqoh Mubarokah
Apakah
agama dan budaya selalu berada di dua kutub yang berbeda? Ataukah keduanya bisa
bersinergi menciptakan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat?
Agama dan budaya kerap kali
dipersepsikan sebagai dua entitas yang saling bertolak belakang. Agama dianggap
sakral dan absolut, sedangkan budaya dipandang sebagai produk manusia yang
fleksibel dan berubah-ubah. Namun, dalam praktik kehidupan sehari-hari,
keduanya justru seringkali berjalan beriringan, saling mengisi, bahkan
membentuk satu identitas yang unik dalam tiap masyarakat. Realitas ini menjadi
sangat relevan di tengah keberagaman Indonesia, di mana berbagai keyakinan dan
budaya lokal hidup berdampingan.
Baru-baru ini, muncul kembali
perdebatan tentang boleh tidaknya praktik budaya lokal yang disisipi unsur
keagamaan. Sebagian pihak menilai bahwa praktik semacam itu mengaburkan
nilai-nilai murni agama. Di sisi lain, ada yang menganggap bahwa budaya adalah
medium untuk mengekspresikan nilai-nilai spiritual dalam bentuk yang lebih
kontekstual dan membumi. Lantas, bagaimana kita seharusnya memahami relasi
antara agama dan budaya? Apakah keduanya bisa berjalan harmonis tanpa saling
meniadakan?
Agama dan budaya sejatinya tidak
harus selalu dikontraskan. Dalam sejarah peradaban, keduanya saling terkait
erat. Ajaran agama sering menyerap unsur budaya lokal agar mudah diterima
masyarakat. Sebaliknya, budaya juga kerap mengadopsi nilai-nilai religius untuk
memberi makna spiritual pada tradisi yang dijalankan. Contohnya, tradisi Grebeg
di Yogyakarta yang merupakan percampuran antara Islam dan budaya Jawa, atau
upacara Ngaben di Bali yang merupakan perwujudan ajaran Hindu dalam bentuk
kebudayaan lokal. Perpaduan ini tidak lantas mengurangi makna spiritual, justru
memperkaya dimensi keberagamaan yang lebih kontekstual dan manusiawi.
Namun, relasi harmonis ini tentu
harus dibangun dengan kesadaran dan kehati-hatian. Ketika budaya dipraktikkan
tanpa refleksi, bisa saja nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran agama
justru dipertahankan atas nama warisan leluhur. Sebaliknya, ketika agama
dipaksakan secara kaku tanpa memahami konteks budaya masyarakat, hasilnya bisa
menimbulkan resistensi dan konflik. Di sinilah pentingnya dialog antara tokoh
agama dan budayawan untuk menemukan titik temu yang tidak saling menegasikan,
tetapi saling memperkuat.
Pendidikan juga memainkan peran
penting dalam membentuk pemahaman masyarakat tentang relasi antara agama dan
budaya. Kurikulum yang inklusif, dialog antarumat beragama, serta pelibatan
generasi muda dalam pelestarian budaya lokal bernilai religius dapat menjadi
jembatan untuk memperkuat harmoni. Media massa dan media sosial pun perlu turut
andil dalam menyebarkan narasi-narasi yang menekankan pentingnya toleransi,
keterbukaan, dan apresiasi terhadap perbedaan.
Dalam konteks Indonesia,
harmonisasi agama dan budaya bukan hanya sebuah pilihan, melainkan kebutuhan.
Negara ini dibangun di atas fondasi keberagaman, dan kekuatan bangsa terletak
pada kemampuannya menjaga keseimbangan di tengah perbedaan. Menghormati budaya
lokal bukan berarti melemahkan agama, dan menjalankan agama secara tulus tidak
lantas harus menolak seluruh aspek budaya.
Sebagaimana bunyi pepatah lama, “di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Kalimat ini mengandung pesan
bijak bahwa setiap keyakinan yang kita anut sebaiknya tetap menghormati konteks
budaya tempat kita berpijak. Bukan untuk mencampuradukkan secara semrawut,
tetapi untuk menyusun harmoni dalam perbedaan karena di situlah wajah sejati
dari toleransi dan kedewasaan beragama.
Opini_Tugas
Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan
Dosen
Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag
Program
Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon