Oleh: Syafiqoh Mubarokah
Belakangan
ini, dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan serius.
Mulai dari isu kebijakan lima hari sekolah yang berpotensi menggeser peran
pendidikan keagamaan, kekurangan guru Pendidikan Agama Islam (PAI), ketimpangan
anggaran pendidikan Islam, hingga tantangan dalam pengembangan lembaga
kaderisasi ulama seperti Ma’had Aly. Semua itu menimbulkan pertanyaan: apakah
regulasi pendidikan kita sudah berpihak pada penguatan keberagamaan atau justru
menghambatnya?
Sejatinya,
pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan umum, tetapi juga menyangkut
pembentukan karakter dan spiritualitas. Pendidikan agama, baik di sekolah,
madrasah, pesantren, maupun lembaga nonformal seperti TPA dan MDT, memegang
peranan penting dalam membangun generasi bangsa yang beriman, toleran, dan
berakhlak mulia. Namun, berbagai regulasi dan alokasi anggaran justru sering
kali tidak adil dan cenderung meminggirkan pendidikan keagamaan. Situasi ini
perlu ditinjau ulang agar sistem pendidikan kita berjalan seimbang dan
menyentuh semua kebutuhan umat.
Salah satu
isu utama adalah ketimpangan anggaran pendidikan Islam. Dalam tulisan Suwendi,
dijelaskan bahwa meski Ditjen Pendis Kementerian Agama mengelola lebih dari 533
ribu lembaga pendidikan Islam (termasuk RA, MI, MTs, MA, pondok pesantren,
madrasah diniyah, dan Ma’had Aly), anggaran yang diberikan hanya sekitar Rp46
triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding alokasi tunjangan profesi guru
di sekolah umum yang mencapai Rp70 triliun.
Ironisnya,
banyak madrasah dan pesantren yang berstatus swasta karena minimnya dukungan
anggaran dari negara. Padahal kontribusi pendidikan Islam terhadap Angka
Partisipasi Kasar (APK) cukup besar, mencapai 22%. Namun, alokasi anggarannya
tak sebanding dengan kontribusinya. Penyebabnya antara lain adalah regulasi
keuangan seperti UU No. 33 Tahun 2004 dan pendekatan pengukuran berbasis APK
yang tidak memasukkan lembaga pendidikan nonformal.
Di sisi
lain, guru PAI di sekolah juga menghadapi persoalan serius. Jumlahnya sangat
kurang, sekitar 35 ribu guru PAI masih dibutuhkan. Selain itu, tunjangan
profesi mereka kerap tertunda atau tidak dibayar karena aturan yang tumpang
tindih antara Kementerian Agama, Kemendikbud, dan Pemerintah Daerah.
Permendikbud No. 17 Tahun 2016 bahkan melarang Pemda membayar tunjangan guru
PAI, meskipun mereka diangkat oleh Pemda itu sendiri.
Kebijakan
lima hari sekolah juga menjadi isu yang memicu kegaduhan. Jika siswa pulang
sore, maka waktu untuk kegiatan keagamaan di luar sekolah seperti TPA, MDT, dan
kajian kitab menjadi terganggu. Kebijakan ini dianggap tidak peka terhadap
peran besar lembaga keagamaan dalam membentuk karakter anak bangsa. Untungnya,
Perpres No. 87 Tahun 2017 mengoreksi hal ini dan memberi ruang bagi lembaga
pendidikan keagamaan untuk tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Selain
itu, pengembangan pendidikan keagamaan tingkat tinggi seperti Ma’had Aly juga
masih memerlukan perhatian. Meski legalitasnya kuat dan sangat penting sebagai
pusat kaderisasi ulama (mutafaqqih fiddin), Ma’had Aly masih kekurangan
fasilitas dan dukungan anggaran. Padahal, ulama masa kini harus mampu menjawab
tantangan zaman, dari teknologi hingga isu kebangsaan. Ma’had Aly diharapkan
menjadi benteng keilmuan Islam berbasis kitab kuning sekaligus pengawal
moralitas bangsa.
Regulasi
pendidikan dan pengembangan keberagamaan semestinya saling mendukung. Negara
tidak boleh membiarkan pendidikan keagamaan berjalan sendiri tanpa dukungan
berarti. Revisi regulasi, keadilan dalam alokasi anggaran, dan sinergi
antarinstansi menjadi kunci utama. Pendidikan agama bukan sekadar pelengkap,
tapi pondasi utama dalam membentuk manusia Indonesia yang utuh—berilmu,
beriman, dan berakhlak mulia.
Opini_Tugas
Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan
Dosen
Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag
Program
Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar