Senin, 02 Juni 2025

Regulasi Pendidikan dan Keberagamaan: Masihkah Berpihak pada Keadilan?


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan serius. Mulai dari isu kebijakan lima hari sekolah yang berpotensi menggeser peran pendidikan keagamaan, kekurangan guru Pendidikan Agama Islam (PAI), ketimpangan anggaran pendidikan Islam, hingga tantangan dalam pengembangan lembaga kaderisasi ulama seperti Ma’had Aly. Semua itu menimbulkan pertanyaan: apakah regulasi pendidikan kita sudah berpihak pada penguatan keberagamaan atau justru menghambatnya?

Sejatinya, pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan umum, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter dan spiritualitas. Pendidikan agama, baik di sekolah, madrasah, pesantren, maupun lembaga nonformal seperti TPA dan MDT, memegang peranan penting dalam membangun generasi bangsa yang beriman, toleran, dan berakhlak mulia. Namun, berbagai regulasi dan alokasi anggaran justru sering kali tidak adil dan cenderung meminggirkan pendidikan keagamaan. Situasi ini perlu ditinjau ulang agar sistem pendidikan kita berjalan seimbang dan menyentuh semua kebutuhan umat.

Salah satu isu utama adalah ketimpangan anggaran pendidikan Islam. Dalam tulisan Suwendi, dijelaskan bahwa meski Ditjen Pendis Kementerian Agama mengelola lebih dari 533 ribu lembaga pendidikan Islam (termasuk RA, MI, MTs, MA, pondok pesantren, madrasah diniyah, dan Ma’had Aly), anggaran yang diberikan hanya sekitar Rp46 triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding alokasi tunjangan profesi guru di sekolah umum yang mencapai Rp70 triliun.

Ironisnya, banyak madrasah dan pesantren yang berstatus swasta karena minimnya dukungan anggaran dari negara. Padahal kontribusi pendidikan Islam terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) cukup besar, mencapai 22%. Namun, alokasi anggarannya tak sebanding dengan kontribusinya. Penyebabnya antara lain adalah regulasi keuangan seperti UU No. 33 Tahun 2004 dan pendekatan pengukuran berbasis APK yang tidak memasukkan lembaga pendidikan nonformal.

Di sisi lain, guru PAI di sekolah juga menghadapi persoalan serius. Jumlahnya sangat kurang, sekitar 35 ribu guru PAI masih dibutuhkan. Selain itu, tunjangan profesi mereka kerap tertunda atau tidak dibayar karena aturan yang tumpang tindih antara Kementerian Agama, Kemendikbud, dan Pemerintah Daerah. Permendikbud No. 17 Tahun 2016 bahkan melarang Pemda membayar tunjangan guru PAI, meskipun mereka diangkat oleh Pemda itu sendiri.

Kebijakan lima hari sekolah juga menjadi isu yang memicu kegaduhan. Jika siswa pulang sore, maka waktu untuk kegiatan keagamaan di luar sekolah seperti TPA, MDT, dan kajian kitab menjadi terganggu. Kebijakan ini dianggap tidak peka terhadap peran besar lembaga keagamaan dalam membentuk karakter anak bangsa. Untungnya, Perpres No. 87 Tahun 2017 mengoreksi hal ini dan memberi ruang bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

Selain itu, pengembangan pendidikan keagamaan tingkat tinggi seperti Ma’had Aly juga masih memerlukan perhatian. Meski legalitasnya kuat dan sangat penting sebagai pusat kaderisasi ulama (mutafaqqih fiddin), Ma’had Aly masih kekurangan fasilitas dan dukungan anggaran. Padahal, ulama masa kini harus mampu menjawab tantangan zaman, dari teknologi hingga isu kebangsaan. Ma’had Aly diharapkan menjadi benteng keilmuan Islam berbasis kitab kuning sekaligus pengawal moralitas bangsa.

Regulasi pendidikan dan pengembangan keberagamaan semestinya saling mendukung. Negara tidak boleh membiarkan pendidikan keagamaan berjalan sendiri tanpa dukungan berarti. Revisi regulasi, keadilan dalam alokasi anggaran, dan sinergi antarinstansi menjadi kunci utama. Pendidikan agama bukan sekadar pelengkap, tapi pondasi utama dalam membentuk manusia Indonesia yang utuh—berilmu, beriman, dan berakhlak mulia.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar