Minggu, 27 April 2025

Khilafah dan HTI: Ancaman Nyata Terhadap Pancasila dan Kebhinekaan

Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Mengapa bangsa sebesar Indonesia harus waspada terhadap paham khilafah dan gerakan HTI? Karena keduanya bukan sekadar wacana ideologis, melainkan ancaman nyata yang menggerogoti sendi-sendi Pancasila dan keberagaman kita. Jika dibiarkan, bukan hanya hukum dan pemerintahan yang terguncang, tetapi seluruh jati diri bangsa ini bisa hancur lebur.

Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler murni. Ia adalah negara berlandaskan Pancasila, dengan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa membedakan latar belakang. Di sinilah gagasan khilafah dan HTI berbenturan keras: memaksakan satu ideologi tunggal untuk bangsa yang sejak lahir memilih hidup dalam keberagaman.

Khilafah bukan sekadar ide politik. Ia adalah sistem yang menolak eksistensi negara-bangsa, menolak demokrasi, dan menolak pluralisme. Dalam kerangka khilafah, tidak ada ruang untuk "Indonesia" sebagai entitas berdaulat yang ada hanyalah bagian kecil dari entitas global bernama "umma" di bawah satu khalifah. Konsep ini bertentangan seratus persen dengan prinsip dasar Proklamasi 17 Agustus 1945.

HTI, sebagai organisasi yang mempromosikan ide khilafah di Indonesia, membawa racun ideologis yang berbahaya. Dengan bungkus dakwah dan istilah keagamaan, mereka perlahan-lahan menyusupkan doktrin anti-demokrasi, anti-nasionalisme, dan anti-kebhinekaan ke dalam masyarakat. Ini bukan sekadar "pandangan lain" dalam demokrasi, ini adalah bentuk sabotase terhadap dasar bernegara kita.

Pancasila lahir dari konsensus panjang dan berdarah-darah. Ia bukan hanya milik satu golongan, tapi milik seluruh rakyat Indonesia. Dalam Pancasila, ada tempat bagi Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan aliran kepercayaan lokal. Konsep khilafah, sebaliknya, hanya mengakui satu kebenaran dan satu jalan. Siapapun yang berbeda, dianggap layak disingkirkan atau dikoreksi secara paksa.

Di tengah kompleksitas masyarakat Indonesia yang plural, keberadaan ideologi eksklusif seperti khilafah adalah bom waktu. Ia menciptakan segregasi, memperuncing identitas keagamaan di atas identitas kebangsaan, dan pada akhirnya bisa meledakkan konflik horizontal.

Pelarangan HTI di tahun 2017 adalah langkah berani — dan perlu. Ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan deklarasi sikap: bahwa Indonesia akan berdiri tegak mempertahankan jati dirinya. Bahwa kita tidak akan tunduk pada tekanan ideologi transnasional yang tidak menghormati sejarah dan perjuangan bangsa ini.

Sebagian mungkin berargumen bahwa melarang HTI melanggar hak berekspresi. Namun perlu diingat: kebebasan berekspresi dalam demokrasi bukan kebebasan untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi mempertahankan dirinya dari ancaman dengan tetap menjaga batasan yang jelas: tidak ada tempat bagi ideologi yang menyerukan pembubaran negara.

Indonesia adalah rumah bersama, bukan rumah untuk satu golongan saja. Pancasila adalah benteng terakhir kita. Jika benteng ini runtuh karena kita lengah menghadapi ideologi khilafah, maka jangan harap kita masih bisa menikmati kedamaian dan keberagaman seperti hari ini.

Karena itu, pertahanan terhadap Pancasila dan kebhinekaan bukan hanya tugas pemerintah tetapi tugas seluruh rakyat Indonesia yang cinta tanah air ini. Melawan ideologi khilafah adalah bagian dari membela kemerdekaan yang telah direbut dengan darah dan nyawa.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon


1 komentar: