Oleh: Syafiqoh
Mubarokah
Belakangan
ini, muncul banyak kekhawatiran tentang tumbuhnya sikap intoleran dan radikal
di lingkungan sekolah dan kampus. Misalnya, data dari PPIM UIN Jakarta tahun
2018 menyebutkan bahwa lebih dari 60% guru di Indonesia memiliki pandangan yang
intoleran terhadap pemeluk agama lain. Bahkan, sebagian mahasiswa di perguruan
tinggi keagamaan negeri mendukung berdirinya negara khilafah dan menolak
Pancasila sebagai ideologi negara. Di tengah situasi ini, moderasi beragama
dianggap sebagai jalan keluar. Tapi, apakah konsep ini sudah benar-benar
diterapkan di dunia pendidikan kita?
Moderasi
beragama bukanlah sekadar istilah yang indah untuk didengar. Ini adalah cara
beragama yang menghindari sikap ekstrem dan memaksakan kebenaran sendiri. Dalam
dunia pendidikan, moderasi beragama sangat penting agar generasi muda tidak
tumbuh menjadi pribadi yang sempit cara pandangnya, namun mampu hidup
berdampingan di tengah keberagaman. Dua artikel yang ditulis oleh Suwendi dan
tim menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi ruang utama untuk menanamkan
nilai-nilai ini, bukan justru menjadi ladang subur bagi tumbuhnya intoleransi.
Moderasi
beragama berarti menjalani agama dengan cara yang adil, seimbang, dan
menghargai perbedaan. Ini bukan berarti melemahkan ajaran agama, melainkan
memahami bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Sayangnya,
realita menunjukkan bahwa banyak sekolah dan kampus belum mampu menciptakan
lingkungan yang toleran. Bahkan, ada guru yang mengajarkan kebencian terhadap
kelompok tertentu atas nama agama.
Artikel Transforming
Religious Moderation in the Education World menyatakan bahwa pendidikan
adalah tempat strategis untuk membentuk karakter moderat. Namun, masih banyak
pemangku kepentingan pendidikan yang memisahkan antara nilai keagamaan dan
nilai kebangsaan. Akibatnya, semangat beragama sering kali tidak sejalan dengan
cinta tanah air.
Sementara
itu, artikel Strengthening Religious Moderation to Prevent Extremism in
Educational Institutions menyebut bahwa ada tiga tantangan besar yang
dihadapi dunia pendidikan: tumbuhnya paham ekstrem, klaim kebenaran tunggal
dalam agama, dan semangat keagamaan yang tidak sejalan dengan semangat
kebangsaan. Ketiganya sangat berbahaya karena bisa melahirkan konflik sosial
dan melemahkan persatuan bangsa.
Solusinya,
pendidikan harus mempraktikkan moderasi beragama dalam kegiatan sehari-hari.
Ini bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, guru dan dosen perlu
mendapatkan pelatihan tentang moderasi beragama. Mereka harus menjadi contoh
bagi muridnya dalam bersikap terbuka dan adil. Kedua, kurikulum pelajaran harus
menyisipkan nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan kebangsaan. Ketiga, sekolah
dan kampus perlu menciptakan kegiatan yang mempertemukan siswa dari berbagai
latar belakang untuk belajar saling memahami.
Penting
juga untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Artinya, peserta didik
dikenalkan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya, dan
semua itu harus dihormati. Melalui pendekatan ini, siswa tidak hanya tahu
tentang keberagaman, tapi juga belajar bagaimana hidup berdampingan dengan
damai.
Guru
memiliki peran penting. Mereka harus menjadi teladan sikap moderat, tidak
memihak, dan mampu menjelaskan bahwa agama hadir untuk menjaga martabat manusia
dan membangun kebaikan bersama. Pendidikan yang hanya menekankan pada
keseragaman justru akan melahirkan generasi yang sulit menerima perbedaan dan
mudah terpengaruh paham sempit.
Dengan
mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama secara serius dalam dunia
pendidikan, kita tidak hanya mencegah radikalisme, tapi juga membentuk generasi
muda yang cinta damai, toleran, dan mampu menjaga keutuhan bangsa. Moderasi
beragama bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak demi masa depan
Indonesia yang lebih damai dan bersatu.
Opini_Tugas
Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan
Dosen
Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag
Program
Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar