Oleh: Syafiqoh Mubarokah
Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk, baik dari
sisi budaya, suku, maupun agama. Sayangnya, keberagaman ini masih sering
menimbulkan gesekan di masyarakat. Lantas, mungkinkah kita menanamkan nilai
toleransi sejak usia dini agar perbedaan tidak menjadi sumber konflik di masa
depan?
Pendidikan dasar memegang peranan penting dalam membentuk
karakter anak. Di usia inilah nilai-nilai dasar tentang sikap terhadap
perbedaan mulai terbentuk. Salah satu Sekolah Dasar di Jawa Tengah, yaitu SDN 4
Sidorejo, menunjukkan bahwa pendidikan toleransi bisa dimulai dari ruang kelas,
bahkan sejak bangku kelas satu.
Sekolah tersebut memiliki siswa dari latar belakang agama
yang beragam seperti Islam, Kristen, dan Katolik. Meskipun mayoritas siswa
beragama Islam, semua siswa diberi ruang yang sama untuk belajar, berpendapat,
dan mengekspresikan kepercayaan mereka. Tidak ada perlakuan berbeda atau sikap
eksklusif dalam kegiatan belajar maupun kegiatan bersama.
Nilai-nilai toleransi ditanamkan dalam berbagai bentuk.
Salah satunya melalui kegiatan bersama seperti kerja bakti, olahraga, permainan
kelompok, dan diskusi kelas. Dalam setiap kegiatan, guru-guru berperan sebagai
fasilitator yang membiasakan anak-anak untuk saling menghargai. Perbedaan bukan
dilihat sebagai penghalang, melainkan sebagai warna yang memperkaya kehidupan
sekolah.
Menariknya, kegiatan keagamaan pun tidak dilakukan secara
tunggal. Siswa Muslim biasanya mengikuti kegiatan seperti tadarus dan salat
dhuha, sedangkan siswa yang beragama lain diberikan kesempatan untuk
menjalankan ibadah atau kegiatan keagamaan sesuai keyakinan mereka
masing-masing. Penjadwalan dan pendampingan dilakukan secara adil dan penuh
pengertian.
Dalam keseharian, anak-anak terlihat akrab satu sama lain,
tanpa membeda-bedakan teman berdasarkan agama. Jika ada perbedaan pendapat atau
salah paham, guru segera mengambil peran sebagai penengah dan pembimbing. Sikap
seperti ini menumbuhkan rasa saling percaya dan aman bagi semua pihak.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa pendidikan toleransi tidak
harus rumit atau menunggu usia remaja. Justru di usia dini, anak-anak lebih
mudah dibentuk dan dibiasakan hidup dalam perbedaan. Yang dibutuhkan hanyalah
keteladanan dari guru dan lingkungan yang mendukung.
Penting untuk dicatat bahwa keberhasilan ini bukan hanya
soal metode, tetapi soal komitmen. Komitmen sekolah untuk menjadi ruang yang
inklusif, ramah keberagaman, dan terbuka terhadap perbedaan adalah kunci utama.
Dengan pendekatan ini, sekolah bukan hanya tempat belajar membaca dan
berhitung, tetapi juga tempat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting.
Ke depan, praktik baik ini perlu ditiru oleh sekolah lain.
Di tengah banyaknya tantangan sosial yang melibatkan isu SARA, pendidikan dasar
harus menjadi benteng pertama dalam membentuk generasi yang toleran, adil, dan
siap hidup damai dalam keberagaman. Karena masa depan Indonesia yang damai
dimulai dari ruang-ruang kelas hari ini.
Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan
Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag
Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar