Jumat, 20 Juni 2025

Toleransi Beragama Sejak SD, Mungkinkah? Inilah Potret Nyatanya!


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk, baik dari sisi budaya, suku, maupun agama. Sayangnya, keberagaman ini masih sering menimbulkan gesekan di masyarakat. Lantas, mungkinkah kita menanamkan nilai toleransi sejak usia dini agar perbedaan tidak menjadi sumber konflik di masa depan?

Pendidikan dasar memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak. Di usia inilah nilai-nilai dasar tentang sikap terhadap perbedaan mulai terbentuk. Salah satu Sekolah Dasar di Jawa Tengah, yaitu SDN 4 Sidorejo, menunjukkan bahwa pendidikan toleransi bisa dimulai dari ruang kelas, bahkan sejak bangku kelas satu.

Sekolah tersebut memiliki siswa dari latar belakang agama yang beragam seperti Islam, Kristen, dan Katolik. Meskipun mayoritas siswa beragama Islam, semua siswa diberi ruang yang sama untuk belajar, berpendapat, dan mengekspresikan kepercayaan mereka. Tidak ada perlakuan berbeda atau sikap eksklusif dalam kegiatan belajar maupun kegiatan bersama.

Nilai-nilai toleransi ditanamkan dalam berbagai bentuk. Salah satunya melalui kegiatan bersama seperti kerja bakti, olahraga, permainan kelompok, dan diskusi kelas. Dalam setiap kegiatan, guru-guru berperan sebagai fasilitator yang membiasakan anak-anak untuk saling menghargai. Perbedaan bukan dilihat sebagai penghalang, melainkan sebagai warna yang memperkaya kehidupan sekolah.

Menariknya, kegiatan keagamaan pun tidak dilakukan secara tunggal. Siswa Muslim biasanya mengikuti kegiatan seperti tadarus dan salat dhuha, sedangkan siswa yang beragama lain diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah atau kegiatan keagamaan sesuai keyakinan mereka masing-masing. Penjadwalan dan pendampingan dilakukan secara adil dan penuh pengertian.

Dalam keseharian, anak-anak terlihat akrab satu sama lain, tanpa membeda-bedakan teman berdasarkan agama. Jika ada perbedaan pendapat atau salah paham, guru segera mengambil peran sebagai penengah dan pembimbing. Sikap seperti ini menumbuhkan rasa saling percaya dan aman bagi semua pihak.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa pendidikan toleransi tidak harus rumit atau menunggu usia remaja. Justru di usia dini, anak-anak lebih mudah dibentuk dan dibiasakan hidup dalam perbedaan. Yang dibutuhkan hanyalah keteladanan dari guru dan lingkungan yang mendukung.

Penting untuk dicatat bahwa keberhasilan ini bukan hanya soal metode, tetapi soal komitmen. Komitmen sekolah untuk menjadi ruang yang inklusif, ramah keberagaman, dan terbuka terhadap perbedaan adalah kunci utama. Dengan pendekatan ini, sekolah bukan hanya tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi juga tempat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting.

Ke depan, praktik baik ini perlu ditiru oleh sekolah lain. Di tengah banyaknya tantangan sosial yang melibatkan isu SARA, pendidikan dasar harus menjadi benteng pertama dalam membentuk generasi yang toleran, adil, dan siap hidup damai dalam keberagaman. Karena masa depan Indonesia yang damai dimulai dari ruang-ruang kelas hari ini.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar