Oleh: Syafiqoh Mubarokah
Anak
usia dini sering disebut sebagai masa keemasan atau golden age. Pada
masa inilah, anak paling mudah menerima nilai, membentuk karakter, dan belajar
dari lingkungan sekitarnya. Namun, bagaimana sebenarnya metode yang tepat untuk
menanamkan nilai-nilai keberagamaan pada usia ini? Apakah cukup dengan
menghafal doa dan surat pendek, atau perlu metode pembelajaran yang lebih
aplikatif dan menyenangkan?
Dua
penelitian yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini menjelaskan dua pendekatan berbeda.
Pertama, melalui metode keteladanan, di mana guru menjadi panutan yang
memberikan contoh nyata perilaku religius. Kedua, melalui metode kibar, yakni
metode visual dan gerak yang memudahkan anak mengenali dan membaca huruf
hijaiyah secara menyenangkan. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing dalam
membantu tumbuhnya religiositas anak sejak usia dini.
Metode
keteladanan menempatkan guru dan orang tua sebagai contoh nyata. Di TK
Al-Muhsin, misalnya, anak-anak diajak melihat langsung bagaimana guru
mengucapkan salam, memimpin doa, melaksanakan shalat dhuha, hingga menunjukkan
sopan santun dalam bertutur kata dan bersikap. Anak-anak tidak hanya diberi
teori tentang perilaku baik, tapi juga meniru langsung apa yang dilakukan oleh
guru mereka.
Penelitian
menunjukkan bahwa cara ini efektif. Anak belajar dengan meniru. Ketika guru
mengajak bersalaman, mengucap salam, atau meminta maaf saat bersalah, anak pun
mengikuti. Nilai moral dan agama bukan lagi sekadar hafalan, tapi menjadi
bagian dari kebiasaan sehari-hari. Keteladanan yang konsisten akan melekat kuat
dalam memori anak, membentuk karakter dan perilaku religius jangka panjang.
Sementara
itu, metode kibar sebuah pendekatan yang dikembangkan dari metode iqra
memiliki keunggulan dalam mengajarkan huruf hijaiyah. Penelitian di RA At-Taqwa
Rajapolah menunjukkan bahwa penggunaan metode ini sangat membantu anak dalam
belajar membaca Al-Qur'an. Dengan pendekatan visual, bunyi, dan gerakan yang
menyenangkan, anak lebih mudah mengenali bentuk huruf, membedakan bunyi, dan
belajar tajwid secara sederhana.
Nilai
aktivitas anak saat menggunakan metode kibar tergolong sangat baik, dan
hasil belajar huruf hijaiyah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Koefisien
korelasi sebesar 0,6 menunjukkan hubungan yang kuat antara penggunaan metode
ini dengan kemampuan membaca huruf hijaiyah anak usia dini. Ini menunjukkan
bahwa metode yang menarik, aplikatif, dan menyenangkan sangat penting dalam
pengembangan keberagamaan anak.
Namun,
penting dicatat bahwa kedua metode ini tidak bisa berdiri sendiri. Keteladanan
membentuk karakter dan moral, sedangkan metode kibar memperkuat aspek
kognitif keagamaan seperti kemampuan membaca. Oleh karena itu, keduanya perlu
digabungkan secara integratif. Pendidikan agama tidak cukup hanya diajarkan,
tapi harus diteladankan dan dipraktikkan dalam keseharian.
Guru
dan orang tua memiliki peran besar dalam mewujudkan hal ini. Konsistensi,
kesabaran, dan kasih sayang menjadi kunci utama dalam membimbing anak mengenal
Tuhannya. Kurikulum PAUD juga perlu disusun agar memberikan ruang cukup bagi
pendidikan agama, tidak hanya sebagai pelengkap, tapi sebagai fondasi
pendidikan karakter.
Menanamkan
nilai-nilai keberagamaan pada anak usia dini tidak cukup dengan ceramah atau
hafalan semata. Anak perlu melihat langsung, meniru, dan terlibat secara aktif.
Metode keteladanan dan metode kibar adalah dua pendekatan yang terbukti
efektif, terutama jika diterapkan bersamaan. Di era yang serba cepat ini, kita
tidak boleh abai: membentuk generasi yang religius dan berakhlak baik harus
dimulai sejak dini dan dengan metode yang tepat.
Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan
Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag
Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar