Rabu, 25 Juni 2025

Madrasah yang Menghidupkan Al-Qur’an dalam Setiap Detik Kehidupan


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Apa yang terjadi jika anak-anak dibiasakan bangun pukul tiga dini hari untuk shalat tahajud, mengaji hingga malam, dan sepanjang hari dikelilingi oleh nilai-nilai keislaman? Jawabannya: terbentuklah generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan akhlak. Itulah yang sedang dibangun oleh Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an 6, sebuah madrasah modern yang menghidupkan Al-Qur’an dalam setiap detik kehidupan santrinya.

Di saat sebagian lembaga pendidikan kewalahan menanamkan karakter disiplin dan religius, Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an 6 justru menjadikan hal itu sebagai budaya. Melalui jadwal harian yang ketat, kurikulum yang dirancang berbasis akidah Ahlussunnah wal Jamaah, hingga program unggulan berbasis tahfidz, madrasah ini telah menjadi contoh bagaimana pendidikan keberagamaan dapat diterapkan secara efektif dan membumi.

Pola keberagamaan di madrasah ini dibangun bukan dengan paksaan, tapi dengan pembiasaan. Setiap hari dimulai pukul 03.00 dini hari dengan aktivitas spiritual: sholat tahajud, mandi, dan persiapan sholat Subuh. Setelah itu, santri langsung mengisi waktu dengan “Jam Wajib Al-Qur’an”, sebuah sesi khusus untuk menghafal dan memperbaiki bacaan Al-Qur’an dengan metode Yanbu’a, sebuah pendekatan yang sistematis dan telah diakui efektif dalam pembelajaran tahfidz.

Kegiatan belajar di sekolah formal pun tidak ditinggalkan. Kurikulum yang digunakan berbasis Aswaja NU yang moderat, toleran, dan ramah budaya lokal. Pelajaran kitab kuning tetap dipertahankan sebagai bagian dari warisan keilmuan Islam klasik, dan diimbangi dengan penguatan bahasa Arab dan Inggris agar santri siap menghadapi tantangan global.

Tidak kalah penting adalah pendidikan karakter melalui aktivitas ekstrakurikuler. Santri mengikuti pramuka, pentas seni, science club, hingga rebana dan English club. Semua ini dirancang untuk menggali potensi dan kepribadian santri secara seimbang: spiritual, intelektual, sosial, dan emosional.

Program-program unggulan seperti beasiswa santri berprestasi, kompetensi keislaman dan peradaban, hingga tahfidz 30 juz bersanad menjadi nilai tambah yang tidak banyak ditawarkan lembaga lain. Dengan ini, madrasah tidak hanya mencetak penghafal Al-Qur’an, tetapi juga pemimpin masa depan yang kokoh akhlaknya.

Apa yang menjadikan madrasah ini istimewa adalah kemampuannya menyatukan banyak hal: pendidikan agama, umum, karakter, dan masa depan. Semuanya dibungkus dalam sistem yang rapi, penuh makna, dan mendalam. Tak heran jika Yanbu’ul Qur’an 6 menjadi salah satu cabang terpercaya dari pusat tahfidz ternama di Kudus.

Pengembangan keberagamaan tidak bisa hanya dilakukan lewat ceramah atau hafalan semata. Harus ada pembiasaan, keteladanan, dan sistem yang mendukung. Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an 6 telah menunjukkan bahwa madrasah bisa menjadi tempat terbaik untuk melahirkan generasi Qur’ani, yang tidak hanya memahami Islam secara teori, tetapi juga menjalani ajarannya dalam hidup sehari-hari. Maka, jika ingin membentuk masa depan yang lebih baik, madrasah seperti inilah jawabannya.

Jumat, 20 Juni 2025

Toleransi Beragama Sejak SD, Mungkinkah? Inilah Potret Nyatanya!


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk, baik dari sisi budaya, suku, maupun agama. Sayangnya, keberagaman ini masih sering menimbulkan gesekan di masyarakat. Lantas, mungkinkah kita menanamkan nilai toleransi sejak usia dini agar perbedaan tidak menjadi sumber konflik di masa depan?

Pendidikan dasar memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak. Di usia inilah nilai-nilai dasar tentang sikap terhadap perbedaan mulai terbentuk. Salah satu Sekolah Dasar di Jawa Tengah, yaitu SDN 4 Sidorejo, menunjukkan bahwa pendidikan toleransi bisa dimulai dari ruang kelas, bahkan sejak bangku kelas satu.

Sekolah tersebut memiliki siswa dari latar belakang agama yang beragam seperti Islam, Kristen, dan Katolik. Meskipun mayoritas siswa beragama Islam, semua siswa diberi ruang yang sama untuk belajar, berpendapat, dan mengekspresikan kepercayaan mereka. Tidak ada perlakuan berbeda atau sikap eksklusif dalam kegiatan belajar maupun kegiatan bersama.

Nilai-nilai toleransi ditanamkan dalam berbagai bentuk. Salah satunya melalui kegiatan bersama seperti kerja bakti, olahraga, permainan kelompok, dan diskusi kelas. Dalam setiap kegiatan, guru-guru berperan sebagai fasilitator yang membiasakan anak-anak untuk saling menghargai. Perbedaan bukan dilihat sebagai penghalang, melainkan sebagai warna yang memperkaya kehidupan sekolah.

Menariknya, kegiatan keagamaan pun tidak dilakukan secara tunggal. Siswa Muslim biasanya mengikuti kegiatan seperti tadarus dan salat dhuha, sedangkan siswa yang beragama lain diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah atau kegiatan keagamaan sesuai keyakinan mereka masing-masing. Penjadwalan dan pendampingan dilakukan secara adil dan penuh pengertian.

Dalam keseharian, anak-anak terlihat akrab satu sama lain, tanpa membeda-bedakan teman berdasarkan agama. Jika ada perbedaan pendapat atau salah paham, guru segera mengambil peran sebagai penengah dan pembimbing. Sikap seperti ini menumbuhkan rasa saling percaya dan aman bagi semua pihak.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa pendidikan toleransi tidak harus rumit atau menunggu usia remaja. Justru di usia dini, anak-anak lebih mudah dibentuk dan dibiasakan hidup dalam perbedaan. Yang dibutuhkan hanyalah keteladanan dari guru dan lingkungan yang mendukung.

Penting untuk dicatat bahwa keberhasilan ini bukan hanya soal metode, tetapi soal komitmen. Komitmen sekolah untuk menjadi ruang yang inklusif, ramah keberagaman, dan terbuka terhadap perbedaan adalah kunci utama. Dengan pendekatan ini, sekolah bukan hanya tempat belajar membaca dan berhitung, tetapi juga tempat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting.

Ke depan, praktik baik ini perlu ditiru oleh sekolah lain. Di tengah banyaknya tantangan sosial yang melibatkan isu SARA, pendidikan dasar harus menjadi benteng pertama dalam membentuk generasi yang toleran, adil, dan siap hidup damai dalam keberagaman. Karena masa depan Indonesia yang damai dimulai dari ruang-ruang kelas hari ini.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Selasa, 10 Juni 2025

Menanamkan Nilai Agama Sejak Dini: Cara Lama atau Metode Baru?

Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Anak usia dini sering disebut sebagai masa keemasan atau golden age. Pada masa inilah, anak paling mudah menerima nilai, membentuk karakter, dan belajar dari lingkungan sekitarnya. Namun, bagaimana sebenarnya metode yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai keberagamaan pada usia ini? Apakah cukup dengan menghafal doa dan surat pendek, atau perlu metode pembelajaran yang lebih aplikatif dan menyenangkan?

Dua penelitian yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini menjelaskan dua pendekatan berbeda. Pertama, melalui metode keteladanan, di mana guru menjadi panutan yang memberikan contoh nyata perilaku religius. Kedua, melalui metode kibar, yakni metode visual dan gerak yang memudahkan anak mengenali dan membaca huruf hijaiyah secara menyenangkan. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing dalam membantu tumbuhnya religiositas anak sejak usia dini.

Metode keteladanan menempatkan guru dan orang tua sebagai contoh nyata. Di TK Al-Muhsin, misalnya, anak-anak diajak melihat langsung bagaimana guru mengucapkan salam, memimpin doa, melaksanakan shalat dhuha, hingga menunjukkan sopan santun dalam bertutur kata dan bersikap. Anak-anak tidak hanya diberi teori tentang perilaku baik, tapi juga meniru langsung apa yang dilakukan oleh guru mereka.

Penelitian menunjukkan bahwa cara ini efektif. Anak belajar dengan meniru. Ketika guru mengajak bersalaman, mengucap salam, atau meminta maaf saat bersalah, anak pun mengikuti. Nilai moral dan agama bukan lagi sekadar hafalan, tapi menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Keteladanan yang konsisten akan melekat kuat dalam memori anak, membentuk karakter dan perilaku religius jangka panjang.

Sementara itu, metode kibar sebuah pendekatan yang dikembangkan dari metode iqra memiliki keunggulan dalam mengajarkan huruf hijaiyah. Penelitian di RA At-Taqwa Rajapolah menunjukkan bahwa penggunaan metode ini sangat membantu anak dalam belajar membaca Al-Qur'an. Dengan pendekatan visual, bunyi, dan gerakan yang menyenangkan, anak lebih mudah mengenali bentuk huruf, membedakan bunyi, dan belajar tajwid secara sederhana.

Nilai aktivitas anak saat menggunakan metode kibar tergolong sangat baik, dan hasil belajar huruf hijaiyah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Koefisien korelasi sebesar 0,6 menunjukkan hubungan yang kuat antara penggunaan metode ini dengan kemampuan membaca huruf hijaiyah anak usia dini. Ini menunjukkan bahwa metode yang menarik, aplikatif, dan menyenangkan sangat penting dalam pengembangan keberagamaan anak.

Namun, penting dicatat bahwa kedua metode ini tidak bisa berdiri sendiri. Keteladanan membentuk karakter dan moral, sedangkan metode kibar memperkuat aspek kognitif keagamaan seperti kemampuan membaca. Oleh karena itu, keduanya perlu digabungkan secara integratif. Pendidikan agama tidak cukup hanya diajarkan, tapi harus diteladankan dan dipraktikkan dalam keseharian.

Guru dan orang tua memiliki peran besar dalam mewujudkan hal ini. Konsistensi, kesabaran, dan kasih sayang menjadi kunci utama dalam membimbing anak mengenal Tuhannya. Kurikulum PAUD juga perlu disusun agar memberikan ruang cukup bagi pendidikan agama, tidak hanya sebagai pelengkap, tapi sebagai fondasi pendidikan karakter.

Menanamkan nilai-nilai keberagamaan pada anak usia dini tidak cukup dengan ceramah atau hafalan semata. Anak perlu melihat langsung, meniru, dan terlibat secara aktif. Metode keteladanan dan metode kibar adalah dua pendekatan yang terbukti efektif, terutama jika diterapkan bersamaan. Di era yang serba cepat ini, kita tidak boleh abai: membentuk generasi yang religius dan berakhlak baik harus dimulai sejak dini dan dengan metode yang tepat.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Senin, 02 Juni 2025

Regulasi Pendidikan dan Keberagamaan: Masihkah Berpihak pada Keadilan?


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan serius. Mulai dari isu kebijakan lima hari sekolah yang berpotensi menggeser peran pendidikan keagamaan, kekurangan guru Pendidikan Agama Islam (PAI), ketimpangan anggaran pendidikan Islam, hingga tantangan dalam pengembangan lembaga kaderisasi ulama seperti Ma’had Aly. Semua itu menimbulkan pertanyaan: apakah regulasi pendidikan kita sudah berpihak pada penguatan keberagamaan atau justru menghambatnya?

Sejatinya, pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan umum, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter dan spiritualitas. Pendidikan agama, baik di sekolah, madrasah, pesantren, maupun lembaga nonformal seperti TPA dan MDT, memegang peranan penting dalam membangun generasi bangsa yang beriman, toleran, dan berakhlak mulia. Namun, berbagai regulasi dan alokasi anggaran justru sering kali tidak adil dan cenderung meminggirkan pendidikan keagamaan. Situasi ini perlu ditinjau ulang agar sistem pendidikan kita berjalan seimbang dan menyentuh semua kebutuhan umat.

Salah satu isu utama adalah ketimpangan anggaran pendidikan Islam. Dalam tulisan Suwendi, dijelaskan bahwa meski Ditjen Pendis Kementerian Agama mengelola lebih dari 533 ribu lembaga pendidikan Islam (termasuk RA, MI, MTs, MA, pondok pesantren, madrasah diniyah, dan Ma’had Aly), anggaran yang diberikan hanya sekitar Rp46 triliun. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding alokasi tunjangan profesi guru di sekolah umum yang mencapai Rp70 triliun.

Ironisnya, banyak madrasah dan pesantren yang berstatus swasta karena minimnya dukungan anggaran dari negara. Padahal kontribusi pendidikan Islam terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) cukup besar, mencapai 22%. Namun, alokasi anggarannya tak sebanding dengan kontribusinya. Penyebabnya antara lain adalah regulasi keuangan seperti UU No. 33 Tahun 2004 dan pendekatan pengukuran berbasis APK yang tidak memasukkan lembaga pendidikan nonformal.

Di sisi lain, guru PAI di sekolah juga menghadapi persoalan serius. Jumlahnya sangat kurang, sekitar 35 ribu guru PAI masih dibutuhkan. Selain itu, tunjangan profesi mereka kerap tertunda atau tidak dibayar karena aturan yang tumpang tindih antara Kementerian Agama, Kemendikbud, dan Pemerintah Daerah. Permendikbud No. 17 Tahun 2016 bahkan melarang Pemda membayar tunjangan guru PAI, meskipun mereka diangkat oleh Pemda itu sendiri.

Kebijakan lima hari sekolah juga menjadi isu yang memicu kegaduhan. Jika siswa pulang sore, maka waktu untuk kegiatan keagamaan di luar sekolah seperti TPA, MDT, dan kajian kitab menjadi terganggu. Kebijakan ini dianggap tidak peka terhadap peran besar lembaga keagamaan dalam membentuk karakter anak bangsa. Untungnya, Perpres No. 87 Tahun 2017 mengoreksi hal ini dan memberi ruang bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

Selain itu, pengembangan pendidikan keagamaan tingkat tinggi seperti Ma’had Aly juga masih memerlukan perhatian. Meski legalitasnya kuat dan sangat penting sebagai pusat kaderisasi ulama (mutafaqqih fiddin), Ma’had Aly masih kekurangan fasilitas dan dukungan anggaran. Padahal, ulama masa kini harus mampu menjawab tantangan zaman, dari teknologi hingga isu kebangsaan. Ma’had Aly diharapkan menjadi benteng keilmuan Islam berbasis kitab kuning sekaligus pengawal moralitas bangsa.

Regulasi pendidikan dan pengembangan keberagamaan semestinya saling mendukung. Negara tidak boleh membiarkan pendidikan keagamaan berjalan sendiri tanpa dukungan berarti. Revisi regulasi, keadilan dalam alokasi anggaran, dan sinergi antarinstansi menjadi kunci utama. Pendidikan agama bukan sekadar pelengkap, tapi pondasi utama dalam membentuk manusia Indonesia yang utuh—berilmu, beriman, dan berakhlak mulia.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

 

Moderasi Beragama dalam Dunia Pendidikan: Apakah Hanya Wacana atau Solusi Nyata?


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Belakangan ini, muncul banyak kekhawatiran tentang tumbuhnya sikap intoleran dan radikal di lingkungan sekolah dan kampus. Misalnya, data dari PPIM UIN Jakarta tahun 2018 menyebutkan bahwa lebih dari 60% guru di Indonesia memiliki pandangan yang intoleran terhadap pemeluk agama lain. Bahkan, sebagian mahasiswa di perguruan tinggi keagamaan negeri mendukung berdirinya negara khilafah dan menolak Pancasila sebagai ideologi negara. Di tengah situasi ini, moderasi beragama dianggap sebagai jalan keluar. Tapi, apakah konsep ini sudah benar-benar diterapkan di dunia pendidikan kita?

Moderasi beragama bukanlah sekadar istilah yang indah untuk didengar. Ini adalah cara beragama yang menghindari sikap ekstrem dan memaksakan kebenaran sendiri. Dalam dunia pendidikan, moderasi beragama sangat penting agar generasi muda tidak tumbuh menjadi pribadi yang sempit cara pandangnya, namun mampu hidup berdampingan di tengah keberagaman. Dua artikel yang ditulis oleh Suwendi dan tim menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi ruang utama untuk menanamkan nilai-nilai ini, bukan justru menjadi ladang subur bagi tumbuhnya intoleransi.

Moderasi beragama berarti menjalani agama dengan cara yang adil, seimbang, dan menghargai perbedaan. Ini bukan berarti melemahkan ajaran agama, melainkan memahami bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Sayangnya, realita menunjukkan bahwa banyak sekolah dan kampus belum mampu menciptakan lingkungan yang toleran. Bahkan, ada guru yang mengajarkan kebencian terhadap kelompok tertentu atas nama agama.

Artikel Transforming Religious Moderation in the Education World menyatakan bahwa pendidikan adalah tempat strategis untuk membentuk karakter moderat. Namun, masih banyak pemangku kepentingan pendidikan yang memisahkan antara nilai keagamaan dan nilai kebangsaan. Akibatnya, semangat beragama sering kali tidak sejalan dengan cinta tanah air.

Sementara itu, artikel Strengthening Religious Moderation to Prevent Extremism in Educational Institutions menyebut bahwa ada tiga tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan: tumbuhnya paham ekstrem, klaim kebenaran tunggal dalam agama, dan semangat keagamaan yang tidak sejalan dengan semangat kebangsaan. Ketiganya sangat berbahaya karena bisa melahirkan konflik sosial dan melemahkan persatuan bangsa.

Solusinya, pendidikan harus mempraktikkan moderasi beragama dalam kegiatan sehari-hari. Ini bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, guru dan dosen perlu mendapatkan pelatihan tentang moderasi beragama. Mereka harus menjadi contoh bagi muridnya dalam bersikap terbuka dan adil. Kedua, kurikulum pelajaran harus menyisipkan nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan kebangsaan. Ketiga, sekolah dan kampus perlu menciptakan kegiatan yang mempertemukan siswa dari berbagai latar belakang untuk belajar saling memahami.

Penting juga untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Artinya, peserta didik dikenalkan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya, dan semua itu harus dihormati. Melalui pendekatan ini, siswa tidak hanya tahu tentang keberagaman, tapi juga belajar bagaimana hidup berdampingan dengan damai.

Guru memiliki peran penting. Mereka harus menjadi teladan sikap moderat, tidak memihak, dan mampu menjelaskan bahwa agama hadir untuk menjaga martabat manusia dan membangun kebaikan bersama. Pendidikan yang hanya menekankan pada keseragaman justru akan melahirkan generasi yang sulit menerima perbedaan dan mudah terpengaruh paham sempit.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama secara serius dalam dunia pendidikan, kita tidak hanya mencegah radikalisme, tapi juga membentuk generasi muda yang cinta damai, toleran, dan mampu menjaga keutuhan bangsa. Moderasi beragama bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan mendesak demi masa depan Indonesia yang lebih damai dan bersatu.

 

Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon