Kamis, 08 Mei 2025

Agama dan Ilmu Pengetahuan untuk Kemaslahatan Manusia: Bisakah Bersinergi?


Oleh: Syafiqoh Mubarokah

Agama dan ilmu pengetahuan kerap diposisikan berseberangan. Agama dianggap dogmatis, sementara ilmu pengetahuan dinilai rasional. Namun, dalam konteks kemaslahatan manusia, benarkah keduanya tidak dapat bersinergi? Di tengah tantangan global saat ini mulai dari krisis moral hingga degradasi lingkungan kolaborasi antara nilai-nilai agama dan pendekatan ilmiah justru semakin relevan dan mendesak.

Sejarah menunjukkan bahwa banyak peradaban besar lahir dari perpaduan iman dan ilmu. Dunia Islam masa klasik adalah contoh nyata. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Kindi adalah ilmuwan yang juga berakar kuat pada spiritualitas. Bagi mereka, mencari ilmu adalah bagian dari ibadah. Sains tidak bertentangan dengan agama, melainkan alat untuk memahami ciptaan Tuhan dan memperkuat keimanan.

Namun dalam praktik modern, keduanya sering dipisahkan. Sains bergerak tanpa arah etika, sementara agama berjalan tanpa pijakan rasional. Padahal, pemisahan ini berisiko besar. Ilmu yang tak beretika bisa melahirkan teknologi yang merusak, seperti senjata pemusnah massal atau eksploitasi lingkungan. Sebaliknya, agama tanpa pemahaman ilmiah berpotensi melahirkan fanatisme dan penolakan terhadap kemajuan.

Kemaslahatan manusia bukan hanya soal kemajuan teknologi, tapi juga keseimbangan moral. Agama mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab—nilai-nilai yang penting dalam mengarahkan pemanfaatan ilmu. Dalam isu perubahan iklim, misalnya, sains memberi data dan solusi teknis, sementara agama mendorong kesadaran bahwa menjaga bumi adalah amanah. Dalam dunia medis, pendekatan spiritual terbukti memperkuat proses penyembuhan, berdampingan dengan teknologi kesehatan yang canggih.

Dalam Islam, perintah untuk mencari ilmu sangat jelas. Kata pertama dalam wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad adalah "Iqra’" bacalah. Ini bukan sekadar ajakan membaca teks, tetapi membaca alam semesta, memahami ciptaan Tuhan, dan mengelola kehidupan dengan bijaksana. Di sinilah titik temu antara wahyu dan akal.

Kita hidup di zaman yang penuh paradoks: kemajuan teknologi luar biasa, tetapi krisis kemanusiaan terus memburuk. Maka, dibutuhkan pendekatan integratif: sains yang beretika dan agama yang terbuka terhadap ilmu. Sinergi ini bukan hanya mungkin, tetapi perlu. Tujuannya satu: menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan manusiawi.

Agama dan ilmu pengetahuan, jika dikelola dengan bijak, bukan hanya kompatibel, tetapi saling memperkuat. Peradaban masa depan tidak bisa hanya dibangun oleh kecanggihan teknologi, tetapi juga oleh keluhuran nilai. Dalam titik inilah, keduanya harus dipertemukan demi kemaslahatan umat manusia secara menyeluruh.


Opini_Tugas Mata Kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan

Dosen Pengampu: Dr. Suwendi, M.Ag

Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon